Banda Aceh | AP – Gabungan Komunitas Aceh (GATA) adakan peringati 144 Tahun (14 April 1873-14 April 2017) kemenangan Kesultanan Aceh Darussalam melawan Kerajaan Belanda. Acara itu berlangsung di Mesjid Baiturrahim Ulee Lheue, Banda Aceh, Sabtu 15 April 2017.
Konsorsium GATA (Gabungan Komunitas Aceh) adalah Konsorsium gabungan beberapa organisasi yang peduli tentang Sejarah dan Budaya Aceh. Acara yang pertama dilaksanakan adalah tanggal 10 Agustus 2016 Peringatan 477 Tahun Hubungan Aceh Turki yang dilaksanakan di Bitai dengan ketua panitia Prof. Teuku Farhan sedangkan acara kedua adalah Hubungan Aceh-Arab yang dilaksanakan 7 Maret 2017 yang berlokasi di Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh yang menjadi ketua panitia adalah Ustad Irhamullah.
Sedangkan acara ketiga yang dilaksanakan adalah hubungan dengan Belanda berbeda dengan dua hubungan sebelumnya yakni persahabatan antar dua kerajaan, maka acara ketiga adalah peringatan hubungan perang antar dua kerajaan.
Peringatan 144 Tahun (14 April 1873-14 April 2017) Kemenangan Kesultanan Aceh melawan Kerajaan Belanda yang akan dilaksanakan pada tanggal 15 April 2017 di Mesjid Baitunahim Uleelheu Banda Aceh yang menjadi ketua Panitia dalam pelaksanaan acara ini adalah Mawardi Usman.
Dalam sejarahnya, Kerajaan Aceh memiliki kedudukan yang sangat terkenal sebagai pusat perdagangan. Aceh banyak sekali menghasilkan lada, tambang serta hasil hutan, sehingga Belanda ingin menduduki kerajaaan Aceh serta menguasainya. Orang-orang Aceh tetap ingin mempertahankan kedaulatannya walaupun Belanda ingin menguasainya. Tahun 1871, Aceh masih sebagai kerajaan yang merdeka telapi mulai berubah dengan adanya Traktrat Sumatra (yang ditandatangani lnggris dengan Belanda pada tanggal 2 November 1871).
Isi dari Traktrat Sumatra 1871 itu adalah pemberian kebebasan bagi Belanda untuk memperluas daerah kekuasaan di Sumatra, termasuk Aceh. Dengan demikian, Traktrat Sumatra 1871 merupakan ancaman untuk Aceh. Karena itu Aceh berusaha untuk memperkuat diri, Mengadakan hubungan dengan Turki, Konsul Italia, bahkan dengan Konsul Amerika Serikat di Singapura.
Tindakan Aceh ini sangat mengkhawatirkan pihak Belanda karena Belanda tidak ingin adanya campur tangan dari luar. Belanda memberikan ultimatum, namun Aceh tidak menghiraukannya . Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda melakukan perang frontal kepada Aceh, Perang Aceh adalah perang Kesultanan Aceh melawan Kerajaan Belanda. Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda mengultimatum dan melakukan perang secara resmi kepada Aceh, dan mulai menggunakan tembakan meriam ke daratan Aceh dan kapal perang Citadel van Antwerpen. Pada tanggal 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen Uleelheu di bawah pimpinan Jenderal Kohler.
Jendral Kohler saat itu membawa 3.198 tentara. Sebanyak 168 di antaranya para perwira. Pihak Aceh dipimpin oleh Panglima Polem dan Sultan Mahmud Syah melawan Belanda yang dipimpin Jendral Kohler. Belanda berkali-kali menyerang Mesjid Raya Baiturrahman untuk menguasainya Hingga Mesjid Raya Baiturrahman terbakar. Pihak Aceh kian bertambah marah dan benci kepada belanda. Pada tanggal 14 April 1873 setelah menguasai Mesjid Raya Baiturrahman yang terbakar, Jenderal Kohler meneropong ke arah lstana Sultan saat itulah sebuah peluru mengenai dadanya dan kohler tewas ditempat. Yang menembak dari jauh adalah Teuku Nyak Raja Lueng Bata Panglima Dalam Istana Kesultanan Aceh.
Gugurya pimpinan mereka membuat Belanda mengundurkan diri dengan tergesa-gesa naik ke kapal dan kembali kc Batavia dengan kalab dan memalukan. Koran dan Majalah didunia masa itu mengabarkan untuk pertama kalinya imperialisme Barat kalah, dengan menyebut lawan Belanda yakni Bangsa Aceh sebagai kaum pernberani dari Utara.
Acara tersebut terbuka untuk umum dengan agenda acara samadiyah, kata sambutan dari keturunan Sultan terakhir Aceh, pembacaan Hikayat oleh Muammar Al Farisi, kupasan sejarah oleh Dr. Kamal Arif serta tausiyah oleh ustad Amir Hamzah. (Arifin)