JAKARTA | MA-Waktu Terus berjalan, perdamaian Aceh sudah 12 Tahun sejak ditandatangani Perjanjian MoU Helsinky, 15 Agustus 2005. Lahirnya Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA) sejak tahun 2006 hingga 2017 menunjukkan sudah 11 tahun UUPA berjalan.
Perjalanan UUPA makin hari makin mengkhawatirkan, Implementasinya pun tidak seperti yang diharapkan. Kondisi tersebut menjadi pantauan khusus senator muda asal Aceh, Fachrul Razi, MIP. Dia terus bersuara secara kritis di Senayan kepada Pemerintah Pusat yang menurutnya bahwa Pemerintah Pusat secara perlahan terus melemahkan kekhususan yang dimiliki oleh Aceh dalam proses waktu berjalan.
Senator Fachrul Razi menilai bahwa banyak kewenangan yang saat Ini secara sistematis dan masif mengalami pengurangan baik dilakukan oleh Pemerintah Pusat melalui Kementerian terkait atau melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang terus mengeluarkan putusan berkait UUPA secara final dan mengikat menjadi Undang Undang yang sama dengan propinsi lainnya.
Menurutnya, perlunya Kerjasama antara eksekutif, Parlemen serta Perwakilan Aceh baik Di DPD RI maupun DPR RI.
“Jika UUPA tidak dikawal maka UUPA akan mengalami kekhususan yang semu. Hal ini tidak baik bagi hubungan Aceh dan Jakarta yang masih belum selesai proses rekonsolidasi dan reintegrasi nya,” ujar Senator Fachrul Razi kepada media ini, baru baru ini.
Senator itu mengungkapkan, dalam 11 tahun belakangan ini telah menunjukkan beberapa kewenangan Aceh cenderung sama dengan Propinsi lainnya. Artinya tidak ada perbedaan antara kekhususan Aceh dengan propinsi lain yang tidak memiliki kekhususan. Tahun 2012, MK memutuskan pasal pembatasan masa adanya calon independen dibatalkan oleh MK. Hingga tahun 2017 ini, MK kembali mengeluarkan putusan yang mengusik kekhususan Aceh bahwa Pilkada di Aceh tidak masuk wilayah kekhususan sehingga tidak berbeda dengan propinsi lainnya.
“Sementara DKI Jakarta masih mempertahankan kekhususannya misalkan adanya putaran Kedua sebagaimana aturan ini tidak ada di Propinsi lain kecuali hanya Jakarta yang menggunakan 2 putaran jika calon Gubernur belum memperoleh 50 persen plus satu,” ujar mantan juru bicara partai lokal ini menggugat keistimewaan yang dimiliki kawasan ibukota negara ini.
Berkaitan dengan pelaksanaan Pilkada 2017 di Aceh yang telah dilaksanakan pada tanggal 14 Februari, menyisakan banyak permasalahan dilapangan, mulai tidak lengkapnya nama pemilih dalam DPT, kisruh e-KTP, dan tidak akuntabilitas nya penyelenggara Pilkada. Permasalah tersebut telah menjadikan pilkada cacat secara hukum dan demokrasi.
Kondisi tersebut makin membuat Senator Fachrul Razi MIP yang juga menjabat Wakil Ketua Komite I DPD RI kecewa. Dia menilai bahwa tingginya gugatan ke Mahkamah Konstitusi oleh beberapa kandidat peserta pilkada dari Aceh disebabkan dirugikannya hak konstitusi dan hak Demokrasi bagi Kandidat jika mengeyampingkan UUPA dalam proses Pilkada 2017.
Jauh jauh Hari sebelum pelaksanaan Pilkada Aceh 2017, Komite I DPD RI telah mengingatkan Pemerintah berdasarkan kunjungan DPD RI ke Aceh berdasarkan laporan Penyelenggara Pilkada dan KIP (Komite Independen Pemilihan) bahwa proses Pilkada masih belum mengacu pada Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA).
“Komite I DPD RI telah menyampaikan bahwa pelaksanaan Pilkada Aceh tanpa memperhatikan kekhususan Aceh akan mengakibatkan tingginya gugatan Di MK dan akan muncul Kandidat yang dirugikan oleh proses tahanan Pilkada,” sebut senator muda ini.
Aceh yang melaksanakan pilkada dengan Qanun Nomor 12 Tahun 2016 Tentang Pilkada juga tidak luput dari permasalahan sehingga berujung pada gugatan ke MK. Tinggi nya gugatan di Aceh akibat ketidakkonsistensi aturan pilkada di Aceh karena mengeyampingkan UU Kekhususan Aceh sehingga berujung pada banyaknya calon yang dirugikan oleh mekanisme pilkada tersebut.
Akibatnya, telah terjadinya kecurangan yang terstruktur dan sistematis serta masif dalam pilkada tersebut, ada beberapa daerah yang jumlah pemilihnya 1.200 pemilih tapi didirikan dalam empat TPS, sedangkan dalam aturan sebenarnya cukup didirikan dua TPS saja.
“Mulai dari KPPS, PPS, PPK hingga KIP di Aceh telah menyelenggarakan pilkada yang cacat hukum karena bertentangan dengan Qanun No.12 Tahun 2016. KIP juga tidak menjalankan PKPU No.15 Tahun 2016, dimana pada pasal 4 poin A jelas disebutkan bahwa pengumuman hasil penghitungan suara dari seluruh TPS harus ditempelkan di tempat umum dimasing-masing gampong tempat masing masing TPS,” kata Fachrul Razi.
Pelaksanaan pilkada serentak yang yang tidak memperhatikan UUPA mengakibatkan banyaknya kehilangan suara bagi salah satu calon, contoh pemilih harus memiliki e -KTP. Selama ini proses perekaman e KTP masih menyisakan masalah, dimana masih adanya proses perekaman yang belum selesai dan kosongnya blanko untuk KTP. Selain itu untuk pilkada Aceh sempat mencuat masalah hilangnya hologram untuk kertas suara seperti di Aceh utara. Pihak penyelenggara juga tidak memberikan hak pilih kepada masyarakat yang memiliki KK serta membatasi hak pilih masyarakat yang mempunyai KTP.
“Ironisnya KIP menganggap bahwa angka 2.5 persen surat suara cadangan yang disediakan dimasing masing TPS merupakan bagian pressntasi masyarakat yang memiliki KTP,” ungkapnya,
Gugatan yang masuk ke MK hasil pilkada Aceh awalnya menjadi harapan bagi kandidat yang mengajukan gugatan agar dapat diputuskan seadil-adilnya sesuai dengan kekhususan Aceh namun dalam kenyataan Pada akhirnya menambah hilangnya norma kekuatan Hukum Pilkada Aceh yang tidak dikategorikan oleh MK sebagai bentuk kekhususan artinya Pilkada Aceh secara umum sama dengan propinsi lainnya yang juga menerapkan aturan Umum.
Sengketa pilkada di Aceh sebenarnya harus diselesaikan dengan merujuk kepada UU PA, dimana MK harus menerima gugatan karena jika sengketa diselesaikan dengan UU PA sengketa pilkada tak menggunakan selisih suara, MK harus menerima gugatan, serta pemenang pilkada Aceh masuk tahap dua, ini karena tak satu pun calon gubernur yang memperoleh persentase 50 plus 1.
“Jika sengketa pilkada Aceh menggunakan UU Pilkada, MK harus membatalkan pencalonan Irwandi Yusuf karena tak memenuhi persyaratan soal 20 persen dukungan di DPR Aceh. Irwandi hanya maju dengan 15 persen dukungan di DPR Aceh atau 13 kursi. Sedangan untuk UU pilkada harus 20 persen atau minimal 17 kursi di DPR Aceh. MK harus benar benar tegas dan adil dalam memberikan keputusan terhadap sengketa tersebut,” ingat senator berpendidikan tinggi ini.
Beberapa masalah tersebut harus menjadi perhatian semua pihak terutama MK, karena putusan yang akan diberikan oleh MK hari ini merupakan keputusan politik yang mana akan membawa Aceh kepada arah yang lebih baik. Pasca Putusan MK, Wakil Ketua Komite I DPD RI Senator Fachrul Razi, MIP yang membidangi masalah Pemerintah Daerah dan Pengawasan Pilkada menyatakan pasca putusan Mahkamah Konstitusi NOMOR 31/PHP.GUB-XV/2017 berkaitan dengan Pilkada Aceh, telah menyampingkan UU Nomor 11 Tahun 2006 yang bersifat khusus, dengan sendirinya telah berdampak Pada hilangkan kekhususan hak Daerah yang memiliki desentralisasi asimetris yang dilindungi oleh UU Khusus dan UUD 1945 pasal 18B.
“Dan Ini akan menjadi ancaman dan preseden buruk bagi masa depan kekhususan yang dimiliki oleh Aceh, Papua, Jogjakarta dan DKI Jakarta. Sebelumnya MK telah memutuskan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007, bertanggal 23 Juli 2007 dan putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 35/PUU-VIII/2010, bertanggal 30 Desember 2010 tersebut terkandung dua hal pokok, yaitu pemilihan kepala daerah tidak termasuk dalam keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh; dan Putusan Kedua yang menyatakan Hubungan antara UU 11/2006 dengan UU Pemda bukan merupakan hubungan yang bersifat khusus dan hubungan yang bersifat umum. Sementara tahun 2017 ini, MK kembali menyatakan bahwa hubungan UU 11/2006 dengan UU 10/2016 bukanlah hubungan “lex specialis” dengan “lex generalis”. Keadaan demikian semata-mata berlaku karena adanya ketentuan Pasal 199 UU 10/2016. Hal ini menunjukkan bahwa posisi UUPA telah mengalami distorsi dan melemah secara hukum,” nilai Fachrul Razi.
Senator Fachrul Razi menilai bahwa Mahkamah Konstitusi telah melangkahi kekhususan yang berlaku terhadap Aceh.
“MK telah bertindak sangat tidak adil dengan keputusan tersebut dan Ini tentunya akan merugikan Daerah, Bukan hanya Aceh Tapi Juga daerah khusus lainnya Di Indonesia,” katanya.
Senator Fachrul Razi mencemaskan apa yang dialami Aceh hari ini akan terjadi juga dengan daerah daerah yang melaksanakan pemerintahan sendiri dibawah UU khusus seperti DKI Jakarta, Yogyakarta dan Papua. Jika ini terjadi kredibilitas MK terhadap semangat otonomi harus dipertanyakan kembali.
“Jangan jangan MK selama ini mempunyai agenda yang tersembunyi terhadap daerah dengan UU khusus Dengan melemahkan hak kekhususan yang dimiliki oleh Daerah Daerah yang bersifat Khusus.
UU Nomor 11 Tahun 2006 merupakan urat nadi pembangunan di Aceh pasca konflik. UU tersebut merupakan titik kompromi politik pemerintah pusat dengan rakyat Aceh yang ingin melaksanakan otonomi. Tetapi hari ini UU tersebut di kesampingkan bahkan tidak dirujuk sama sekali dalam mengadili permasalahan yang terjadi di wilayah Aceh,” ingat Fachrul Razi menanggapi sikap MK selama ini.
Kepada semua elemen masyarakat dan lembaga pemerintahan di Aceh, Senator Fachrul Razi berharap untuk terus mempertahankan dan memperjuangkan UUPA agar tetap memiliki kekuatan hukum yang khusus sebagaimana dilindungi oleh UUD 1945 pasal 18B.
“DPD RI akan terus melakukan pengawasan terhadap UU Nomor 11 Tahun 2006,” janjinya.
Bukan hanya MK, Senator Fachrul Razi menegaskan bahwa semua lembaga negara yang mempunyai kepentingan nasionalnya di Aceh harus menghormati keberadaan UU Nomor 11 Tahun 2016, Kepala Pemerintah Aceh dan DPR Aceh.
Kepada Pemerintah Aceh dan DPRA dia berharap agar dapat melakukan upaya upaya politis Dan diplomatis dalam memperkuat posisi UUPA dengan UU Nasional lainnya.
“Harus ada ketegasan dan political will dari Presiden dalam melihat UUPA sebagai UU yang bersifat khusus,” sarannya lagi.
Sebelumnya dalam pertemuan dengan Mendagri, Senator Fachrul Razi terus mendesak agar Pemerintah Pusat harus tuntaskan PP Turunan UU PA secepatnya karena ini merupakan kewajiban Pusat untuk Aceh. Turunan UU Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh berupa Peraturan Pemerintah sejauh ini sudah 10 tahun berjalan masih terdapat beberapa yang belum terselesaikan secara sempurna. Sebenarnya ujar dia, semua aturan turunan harus sudah selesai selama dua tahun sejak UU PA diundangkan. Artinya 2008, namun turunan UU PA yang sampai saat ini belum selesai adalah, RPP tentang tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang Gubernur sebagai wakil pemerintah, RPP tentang standar, norma dan prosedur pembinaan dan pengawasan PNS Aceh/kabupaten/kota, RPP tentang nama Aceh dan gelar pejabat Pemerintah Aceh dan RPP tentang penyerahan sarana, prasarana, pendanaan, personel dan dokumen tentang pendidikan madrasah ibtidaiyah dan madrasah tsanawiyah. Pernyataan ini disampaikan Senator Fachrul Razi kepada Menteri Dalam Negeri, Tjahyo Kumolo dalam rapat pembahasan turunan UU No, 23 Tahun 2014 di Komite I DPD RI.
Fachrul Razi mengatakan bahwa RPP yang belum tuntas tersebut harus segera diselesaikan oleh pemerintah segera, tidak ada alasan lagi bagi pemerintah pusat untuk memperlambat semua turunan UU PA. Peraturan Pemerintah turunan UU PA juga merupakan bagian dari komitmen perdamaian Aceh, komitmen tersebut harus dibuktikan dengan langkah nyata, bukan hanya janji-janji pemerintah terhadap Aceh.
Senator Fachrul Razi menilai bahwa selama ini presiden sudah menunjukkan komitmenya untuk membangun Aceh, kunjungan presiden yang sudah tiga kali dengan progam-program pembangunan harus direspon dengan cepat oleh kementrian dan pemerintah daerah.
“Selama ini kita melihat bahwa, Kementerian tidak mampu merespon program-program yang sudah di canangkan oleh presiden terhadap Aceh.,” sebut pria yang mulai populer dengan sebutan Frazy.
Oleh karena itu, kata dia, untuk memperkuat penerapan otonomi di Aceh, segala turunan UU PA berupa PP harus segera ada. Fachrul Razi mengajak semua pihak untuk menjaga status Otsus Aceh. Karena menurutnya potensi gangguanya cukup besar. Apalagi sebut dia, banyak pihak-pihak yang tidak suka dengan kewenangan Aceh, dengan program-program yang tidak sesuai UU PA.
“Untuk itu sebagai wakil Aceh di DPD RI saya akan mendesak serta mengawal penuh turunan PP yang belum diselesaikan pemerintah. Semua turunan UU PA harus diselesaikan serta mengajak semua elemen untuk terus mengawal UUPA, agar tidak mengalami kehilangan kekhususan,” tutup nya. [MTU]