Kuliah Tamu PSDP Unsyiah Bahas Demokrasi Myanmar

oleh -299 Dilihat

Radhi Darmansyah, MSc, Kepala Pusat Studi Demokrasi dan Pembangunan (PSDP), Unsyiah, Foto: Ist
Radhi Darmansyah, MSc, Kepala Pusat Studi Demokrasi dan Pembangunan (PSDP), Unsyiah, Foto: Ist

Banda Aceh | AP-Aung San Suu Kyi adalah sebuah ikon, lampu pencerahan. Presiden Htin Kyaw bersama Aung San Suu Kyi dipercaya mampu membawa perubahan yang sangat kontruktif bagi Myanmar khususnya untuk penyelesaian persoalan di dalam negeri, seperti terkait isu desentralisasi kekuasaan dengan kelompok etnik serta kolaborasi dengan kelompok-kelompok nasionalis.

Aung San Suu Kyi memilih untuk mengatur Menteri Urusan Kepresidenan dan Menteri Dalam Negeri ini. Pilihan Aung San Suu Kyi ini akan mendorong membangun komunikasi dengan masyarakat internasional untuk meggalang investasi asing demi meningkatkan kemakmuran rakyat Myanmar. Demikian terungkap dalam kuliah tamu dengan tema “Demokrasi di Myanmar: Peluang dan Tantangan Presiden Htin Kyaw dan Aung San Suu Kyi” yang dilaksanakan oleh Pusat Studi Demokrasi dan Pembangunan (PSDP) pada Kamis 16 April 2016 di Ruang Sidang Rektorat Universitas Syiah Kuala, Darusalam, Banda Aceh.

“Pada periode pemerintahan presiden Thien Sein dasar-dasar demokrasi sudah dibentuk. Aung San Suu Kyi tinggal menguatkannya dan memperbaiki elemen-elemen demokrasi yang belum terimplementasikan. Memang Aung San Suu Kyi mesti memberikan perhatian lebih untuk penyelesaian masalah di internal Myanmar. Beda kelompok, beda fokus, dan beda kepentingan. Ini yang mesti menjadi fokus reformasi internal Aung San Suu Kyi,” kata Nashruddin, pegiat kemanusiaan yang telah tiga tahun bekerja di Myanmar.

“Aung San Suu Kyii adalah seorang politikus ulung. Apa yang dilakukannya adalah untuk kebaikan masyarakat Myanmar secara menyeluruh. Tentunya untuk meningkatkan level Myanmar di internasional. Selaku politisi dia telah berhasil berhasil membangun hubungan yang konstruktif dengan militer yang menguasai 25 % kursi di parlemen. Strategi ini akan memudahkan dia dalam memperhatikan permintaan-permintaan rakyat, termasuk kelompok etnis. Ini yang perlu dipahami dan diapresiasi,” tambah Nashruddin, yang pernah menjadi sebagai Program Manager IRD Aceh pasca tsunami 2004 lalu.

“ASEAN cukup aktif membantu Myanmar selama ini. Dengan dorongan moril dan semangat dari ASEAN, Myanmar menjadi lebih cepat membuka diri. Kebijakan ‘constructive engagement’ dari ASEAN ini telah mendorong perubahan bagi Myanmar saat ini. Aung Sang Suu Kyi diharapkan akan terus membawa demokrasi di Myanmar ke arah yang baik,” lanjut Nashruddin.

Kebutuhan mendesak di Myanmar saat ini adalah institutional reform yang sudah pasti membutuhkan kesepakatan bersama antara aktor aktor politik di Myanmar lewat proses yang bermartabat. “Untuk mencapai kesepakatan ini, dibutuhkan determinasi dan creativitas dari ibu icon demokrasi ini. Ada faktor kepentingan kelompok yang harus diakomodir oleh pemerintahan baru demi tercapainya visi dan misi dari pemerintahan baru ini,” jelas Nashruddin lagi mendetilkan.

“Perubahan konstitusi ini harus dijalani secara bertahap untuk kepentingan ekonomi Myanmar sendiri. Pemerintah Myanmar bisa belajar dari transisi demokrasi di Indonesia pasca reformasi di tahun 1998 lalu. Hanya butuh waktu sekitar 15 tahun saja perubahan demokrasi dan ekonomi di Indonesia menjadi sangat baik. Myanmar tentu bisa belajar dari Indonesia,” jelas Radhi Darmansyah, Kepala Pusat Studi Demokrasi dan Pembangunan.

“Pengalaman Indonesia menyelesaikan konflik di Aceh dengan perjanjian damai adalah model yang dapat digunakan untuk menguruskan permintaan desentralisasi dari kelompok etnik minoritas. Kasus separatisme di Aceh selesai setelah Pemerintah Pusat bijak berpikir win-win untuk memberikan power dan economic sharing bagi Pemerintah Aceh. Pasti Myanmar bisa belajar dari penerapan model-model desentraliasi di Indonesia saat ini,” tambah Radhi.

Saat ini Myanmar mengarah ke arah desentralisasi yang lebih baik. Negara yang baru berakhir dari kepemimpinan militer ini memiliki 14 propinsi dengan 7 region (wilayah) yang didominasi suku Burma dan 7 state (negara bagian) yang merupakan wilayah kelompok minoritas. Sekitar 89% penduduknya adalah Buddha.

Penanganan Rohingya di Aceh

Sedangkan penduduk Muslim terpencar dari Rakhine State (Arakan) hingga ke kota Yaagon. Suku Rohingya di Myanmar memang hingga saat ini belum diakui secara legal oleh Pemerintah Myanmar. “Rohingya menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintahan Htin Kyaw. Bagaimana Myanmar memberikan perhatian secara khusus untuk warga muslim yang masih berstatus stateless ini. Rohingya akan terus menjadi perhatian masyarakat di Indonesia,” jelas Radhi.

Pengungsi Rohingya yang terdampar ke Aceh masuk ke wilayah Aceh Jaya, Aceh Besar, Sabang, Aceh Timur, Aceh Utara, Langsa dan Aceh Tamiang. Sebagiannya terdampar langsung ke daratan Aceh dan ada juga yang dibantu serta ditarik oleh nelayan Aceh sampai ke daratan setelah berhari-hari terkatung-katung di laut. Saat ini sebagaian pengungsi Rohingya ini masih menempati posko pengungsian di Adoe, Aceh Utara dan Bireun Bayeun, Langsa.

Menurut Tarmizi, komandan Tagana Aceh, ada sekitar 2.599 pengungsi yang ditangani oleh Tagana Aceh sejak beberapa tahun lalu. Tagana didanai oleh Dinas Sosial Propinsi Aceh. Biasanya pengungsi Rohingya yang mendarat di Aceh akan diberikan penanganan tanggap darurat selama 3-7 hari. Para pengungsi ini juga diberikan bantuan family kit lengkap.

IOM dan UNHCR, serta beberapa LSM lokal seperti RUMAN Aceh, PKPU, Yayasan Geutanyoe, ACT, dan lainnya juga aktif membantu pengungsi Rohingya. Bantuan bagi pengungsi Rohingya ini juga datang cukup banyak dari masyarakat Aceh secara sukarela.

Saat ini, hanya tinggal sekitar seratusan pengungsi Rohingya saja yang masih bertahan di Aceh. Sisanya sudah dipindahkan ke tempat lain di Indonesia. Sebagian pengungsi ini juga ada yang melarikan diri dari kamp penampungan yang ada di Adoe dan Bireun Bayeun. [r]