Ketika Suharto Dipecat Secara Tidak Hormat Oleh Jenderal Nasution

oleh -359 views

Foto cibiran terhadap rezim Suharto. Foto: Net
Foto cibiran terhadap rezim Suharto. Foto: Net

Pada artikel kali ini, kami akan mencoba menguak sedikit dari banyaknya tandatanya-tandatanya besar yang masih tersimpan di saku tiap rakyat Indonesia yang tercinta ini dan belum terjawab, bahkan tak akan pernah terjawab.

Hal itu dilakukan karena pada masa rezim New Order atau Orde Baru itu, banyak sekali sejarah-sejarah yang tak boleh dipublikasikan, ditulis ulang, dibengkokkan, lalu di propagandakan melalui media-media zombie yang pada masa lalu, bagai ‘media peliharaan’.

Suharto, presiden diktator era ‘Orde Baru’ (New Order) yang berkuasa selama 32 tahun, yang selalu menang dalam pemilu sebanyak 6 kali berturut-turut alias hat trick dua kali oleh pemilihan presiden secara tak langsung (dipilih oleh DPR/MPR), lahir di Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta, 8 Juni 1921.

Ia lahir dari keluarga petani yang menganut Kejawen. Keyakinan keluarganya ini kelak terus dipeliharanya hingga hari tua. Karir Suharto diawali sebagai karyawan di sebuah bank pedesaan, walau tidak lama.

Dia sempat juga menjadi buruh dan kemudian menempuh karir militer pertama kali sebagai prajurit KNIL yang berada di bawah kesatuan tentara penjajah Belanda. KNIL adalah singkatan dari bahasa Belanda; het Koninklijke Nederlands(ch)- Indische Leger, atau secara harafiah: Tentara Kerajaan Hindia Belanda.

Saat Jepang masuk di tahun 1942, Suharto bergabung dengan PETA, yaitu singakatan dari tentara sukarela Pembela Tanah Air (kyōdo bōei giyūgun?) adalah kesatuan militer yang dibentuk Jepang di Indonesia dalam masa pendudukan Jepang.

Ketika Soekarno memproklamirkan kemerdekaan, Soeharto bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat atau biasa disingkat dengan TKR, adalah sebuah nama angkatan perang pertama yang dibentuk oleh Pemerintah Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

TKR dibentuk pada tanggal 5 Oktober 1945 berdasarkan maklumat yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. TKR dibentuk dari hasil peningkatan fungsi Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang sudah ada sebelumnya dan tentara intinya diambil dari bekas PETA.

Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949

Salah satu ‘prestasi’ kemiliteran Suharto yang sering digembar-gemborkannya semasa dia berkuasa adalah Serangan Umum 1 Maret 1949 atas kota Yogyakarta.

Bahkan ‘prestasi’ ini sengaja difilmkan dengan judul ‘Janur Kuning’ pada tahun 1979, yang memperlihatkan jika serangan umum itu diprakarsai dan dipimpin langsung oleh Letkol Suharto.

Padahal, sesungguhnya serangan umum itu diprakarsai oleh Sultan Hamengkubuwono IX.

Sultan Hamengkubuwono IX lah yang memimpin serangan umum melawan Belanda, bukan Soeharto.

Hamengkubuwono IX adalah seorang nasionalis yang memiliki perhatian terhadap nasib rakyatnya, karena itu ia tidak mau untuk di jajah. Kedepannya, Sultan Hamengkubuwono IX menjadi Menteri Pertahanan Republik Indonesia.

Nasution Pecat Suharto Secara Tak Hormat Dari Pangdam Diponegoro

Pada 1959, Suharto yang kala itu menjabat sebagai Pangdam Diponegoro dipecat oleh Jenderal Abdul Haris Nasution dengan tidak hormat, karena Suharto telah menggunakan institusi militernya untuk mengumpulkan uang dari perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah.

Suharto kala itu juga ketahuan ikut kegiatan ilegal berupa penyelundupan gula dan kapuk bersama Bob Hasan dan Liem Sioe Liong. Untuk memperlancar penyelundupan ini, didirikan perusahaan perkapalan yang dikendalikan Bob Hasan.

Konon, dalam menjalankan bisnis haramnya ini, Bob menggunakan kapal-kapal ‘Indonesian Overseas’ milik C.M. Chow. Mungkin, sejarah nyata pemecatan dengan tidak hormat inilah yang bisa jadi mirip “kutukan” jika suatu saat dinastinya masuk kembali ke dalam kemiliteran, akan dipecat dengan tidak hormat pula.

Suharto, Berkomplot Dengan Agen Ganda Jepang – Cina

Siapa C.M. Chow ini? Dia adalah ‘agen ganda’ atau double agent. Pada tahun 1950 dia menjadi agen rahasia militer Jepang yang bertugas di Shanghai, Cina. Tapi dia pun kepanjangan tangan Mao Tse Tung atau dikenal pula sebagai Mao Zedong, adalah seorang tokoh filsuf dan pendiri negara Republik Rakyat Tiongkok (RRT).

Mao Tse Tung atau Mao Zedong, adalah salah satu tokoh terpenting dalam sejarah modern Tiongkok. Kala itu C.M. Chow merupakan kepanjangan tangan Mao dalam merekrut Cina perantauan dari orang Jepang, ke dalam jaringan komunis Asia.

Pada 1943, Chow ditugasi Jepang ke Jakarta. Ketika Jepang hengkang dari Indonesia, Chow tetap di Jakarta dan membuka usaha perkapalan pertama di negeri ini.

Chow bukan saja membina warga negara Cina di Jawa Tengah dan Jawa Timur, namun juga di Sumatera dan Sulawesi.

Salah satu binaannya adalah ayah Eddy Tansil dan Hendra Rahardja yang bermarga Tan. Tan merupakan ‘sleeping agent’ Mao di Indonesia Timur.

Kemudian pada pertengahan 1980-an, Hendra Rahardja dan Liem Sioe Liong mendirikan sejumlah pabrik di Fujian, Cina. (dari: Siapa Sebenarnya Suharto; Eros Djarot; 2006).

Jenderal A.H. Nasution yang akrab disapa “Pak Nas”, pada kala itu sangat marah sehingga ingin memecat Suharto dari Angkatan Darat dan menyeretnya ke Mahkamah Militer, namun atas desakan Gatot Subroto, Suharto dibebaskan dan akhirnya dikirim ke SSKAD (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat).

Ahmad Yani Juga Marah Kepada Suharto

Selain Nasution, Yani juga marah atas ulah Suharto dan di kemudian hari mencoret nama Suharto dari daftar peserta pelatihan di SSKAD (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat), yang mana hal ini membuat Suharto dendam sekali terhadap Yani. Terlebih Amad Yani adalah anak kesayangan Bung Karno.

Kemudian, Kolonel Pranoto Rekso Samoedro diangkat sebagai Pangdam Diponegoro menggantikan Suharto.

Pranoto, sang perwira ‘santri’, menarik kembali semua fasilitas milik Kodam Diponegoro yang dipinjamkan Suharto kepada para pengusaha Cina untuk kepentingan pribadinya.

Suharto sangat sakit hati dan dendam terhadap Pranoto, juga terhadap Nasution dan Yani.

Lalu di sekolah SSKAD (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat), Suharto dicalonkan untuk menjadi Ketua Senat.

Namun D.I. Panjaitan menolak keras dengan menyatakan dirinya tidak percaya dengan Suharto yang dinilainya tidak bisa dipercaya karena mempunyai banyak catatan kotor dalam karir militernya, antara lain penyelundupan bersama para pengusaha Cina dengan dalih untuk membangun kesatuannya, namun yang terjadi adalah untuk memperkaya dirinya.

Suharto Marah Dan Dendam Kepada Para Jenderal

Atas kejadian itu maka Harto, panggilan Suharto, yang berarti Harta, sangat marah. Bertambah lagi dendam Suharto, selain kepada Nasution, Yani, Pranoto, dan kini kepada D.I. Panjaitan. Aneh tapi nyata, dalam peristiwa 1 Oktober 1965, musuh-musuh Suharto terutama Nasution, Yani, dan Panjaitan, menjadi target pembunuhan, sedangkan Suharto sendiri yang merupakan orang kedua di Angkatan Darat ini, tidak masuk dalam daftar kematian.

Setelah Ahmad Yani terbunuh pada peristiwa 30 September 1965, Bung Karno mengangkat Pranoto Rekso Samudro sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), namun Pranoto dijegal oleh Suharto sehingga Suharto-lah yang justru mengambil-alih kepemimpinan Angkatan Darat, dan untuk menghindari pertumpahan darah oleh kemungkinan perang saudara, maka Soekarno melantik Suharto sebagai Panglima Angkatan Darat pada 14 Oktober 1965.

Perang saudara yang diyakini akan terjadi itu, karena Siliwangi di Jawa Barat (Ibrahim Adjie) dan KKO (kini Marinir) di Jawa Timur, telah bersumpah untuk selalu berada di belakang Soekarno. Dan, jika Soekarno memerintahkan untuk ‘menyapu’ kekuatan Suharto di Jakarta, maka mereka menyatakan siap juga untuk berperang.

Itulah yang akhirnya dihindari oleh Soekarno, agar Angkatan Darat tidak pecah dan justru dapat membuat Indonesia yang baru merdeka ini, dapat kembali pecah oleh kekuasaan dan harta yang hanya dapat dinikmati di dunia yang sementara ini.

Kronologi Soeharto dendam Pranoto bongkar kasus korupsinya di Jawa Tengah

Pranoto Reksosamodra sejatinya teman karib Soeharto. Saat Jepang membuka pendidikan Pembela Tanah Air (PETA), kedua pemuda tersebut terpanggil untuk mendaftar. Pranoto dan Soeharto sama-sama lulus dengan hasil memuaskan sebagai kompandan peleton.

Sebentar bertugas, keduanya dipanggil mengikuti pendidikan lanjutan sebagai komandan kompi di Bogor. Karir Pranoto dan Soeharto juga maju beriringan. Tahun 1948, Letkol Pranoto diangkat menjadi Komandan Brigade IX/Divisi III/Diponegoro di Muntilan, sementara Letkol Soeharto menjadi Komandan Brigade X di Yogyakarta.

Saat Soeharto sebagai komandan serangan Umum 1 Maret, Pranoto dan pasukannya kebagian tugas menyerang Yogyakarta dari Utara lewat Kali Code. Kolonel Pranoto juga yang menggantikan Kolonel Soeharto menjadi Panglima Tentara & Teritorium IV/Diponegoro. Pada saat itu Panglima menjabat penguasa perang daerah (Paperda).

Di sinilah hubungan kedua perwira Angkatan Darat ini memburuk. Penyebabnya saat tim pemberantasan korupsi Angkatan Darat turun ke daerah-daerah menyelidiki dugaan korupsi para panglima. Tim ini diketuai oleh Brigjen Soengkono.

Kolonel Pranoto menuliskan peristiwa ini dalam catatan pribadinya. Buku catatan ini kemudian disunting Imelda Bachtiar dan diterbitkan Kompas tahun 2014 dengan judul Catatan Jenderal Pranoto dari RTM Boedi Oetomo sampai Nirbaya. Pranoto mengaku memberikan fasilitas dan keleluasaan untuk tim audit tersebut selama bergerak di wilayah militernya.

Tim ini menemukan sejumlah pelanggaran yang dilakukan Kolonel Soeharto saat menjabat Panglima di Jawa Tengah. Antara lain barter liar, monopoli cengkeh dari asosiasi gabungan pabrik rokok kretek Jawa Tengah. Ada juga penjualan besi tua yang disponsori sejumlah pengusaha Tionghoa seperti Lim Sioe Liong.

Brigjen Soengkono melaporkan hal ini pada Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Nasution yang. Soeharto sempat malu dan berniat mengundurkan diri karena kasus ini. Namun Nasution menolaknya. Nasution pula yang kemudian menyelesaikan kasus ini. Soeharto akan diberi sanksi administrasi sedangkan Pranoto diperintahkan menertibkan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di Jawa Tengah.

Masalah rupanya belum selesai. Soeharto sudah menaruh dendam pada Pranoto. Dia termakan kasak kusuk yang menyebut Pranotolah yang meminta tim Angkatan Darat menyelidiki masalah ini. Wakil Kasad Letjen Gatot Soebroto memanggil kedua anak buahnya ini. Dia meminta keduanya berbaikan. Namun Soeharto sempat menolak.

“Bagaimanapun aku merasa dipermalukan dan dicoreng-moreng oleh sebab perbuatannya,” kata Soeharto. Pranoto membela diri. “Demi Allah, laporan-laporan itu bukanlah aku yang melakukan dan aku pun tak perlu menuduh dari mana ataupun dari siapa laporan itu dibuat. Hal itu tidak benar dan kalau perlu kolonel dapat menuntutnya.”

Letjen Gatot Subroto menyela perdebatan itu dengan gayanya yang kebapakan. Dia meminta Pranoto dan Soeharto berdamai.

“Kalian seperti anak kecil. Di hadapanku jangan pada bertengkar. Sudah bubar. Ayo pada salaman,” kata Gatot.

“Kami terpaksa bersalaman. Betapapun di hati masing-masing terasa hambar,” kenang Pranoto melukiskan peristiwa tahun 1960 itu.

Persahabatan dua perwira TNI ini pun berakhir

Kelak setelah G30S meletus, Mayor Jenderal Soeharto menahan Mayjen Pranoto dengan tuduhan terlibat aksi militer G30S yang didalangi PKI. Tanpa pengadilan, Pranoto menjalani penahanan selama 15 tahun!

Sejumlah pihak menyangka dendam Soeharto yang melatarbelakangi penangkapan tersebut. Namun rupanya Pranoto tak mau berburuk sangka.

“Dari catatan Pak Pran, beliau juga tidak tahu apakah karena masalah itu atau yang lain. Karena itu Pak Pran selalu berharap ada pengadilan sehingga bisa menjawab semua tuduhan. Tapi pengadilan tersebut tak pernah ada,” kata Imelda Bachtiar saat berbincang dengan merdeka.com.

Sejarawan Asvi Warman Adam menilai cara-cara Soeharto menggandeng konglomerat dan mendirikan aneka yayasan terus dipertahankan saat dia menjadi presiden RI. Sama dengan di Jawa Tengah dulu, yayasan yang didirikan Soeharto selalu diklaim untuk mensejahterakan anggota TNI atau masyarakat. Namun tentunya Soeharto dan koleganya pun dapat keuntungan.

“Menarik apa yang disampaikan dalam biografi Liem Sioe Liong. Apa yang dia peroleh dari monopoli. Di sisi lain jika Soeharto butuh, dia tinggal minta dana ke Liem. Ini mutualisme,” kata Asvi.

Lamanya Masa Orde Baru Membuat Rakyat Indonesia Dicuci Otak Dan Tak Mengenal Sejarah Asli Bangsanya

Ironisnya, banyak manusia Indonesia selalu lupa akan sejarah asli bangsanya. Tapi lebih ironisnya lagi, banyak ‘anak-anak singkong’ yang buta sejarah pada masa kini, terhasut oleh dongeng pencuci otak era rezim New (World) Order itu.

Semua itu terjadi karena mungkin mereka tak mengalaminya, namun justru percaya hanya mendengar dari “katanya dan ceritanya”. Seharusnya pemuda masa kini membaca buku yang berasal dari pemuda dimasa lalu agar menjadi pemuda yang paham sejarah, bukan hanya mendengar dari media masa kini, yang akhirnya hanya paham apa itu selfie atau jago BBM yang tak penting.

Selalu ada saksi dalam setiap sejarah. Sejarah adalah pembelajaran, dan Soekarno telah selalu mengingatkan kepada segenap rakyatnya, termasuk Soeharto, secara berkali-kali, “Jas merah, jangan selalu melupakan sejarah” tegas Soekarno. Namun, apa yang justru dilakukan oleh Soeharto?

Kabinet terakhir yang ia buat sebelum lengser telah memasukkan anaknya, Tutut sebagai menteri sosial dan Bob Hasan saudara angkatnya sang kartel kayu, pembabat hutan dan illegal logging, justru menjadi menteri kehutanan, yang di era reformasi ia sempat merasakan bui.

Rakyat mulai tak suka dengan cara kapitalis dan imperialisme yang diterapkan Soeharto, itu semua adalah sistim dajjal penindas rakyat ditiap negara. Rakyat yang sudah susah, semakin susah, semakin miskin, terbelenggu, apalagi tak ada kebebasan sama sakali. Mereka buta politik, buta informasi di Era Orde Baru itu.

Namun ratusan juta manusia itu tak berani, takut, tak berkutik dan tak bisa apa-apa. Maka, mahasiswa pun yang akhirnya bergerak dan menghasilkan gerakan perubahan, Reformasi, dengan rakyat se-Indonesia yang selalu siap dibelakang mereka. Mahasiswa dari Sabang hingga Merauke pun berdatangan ke Jakarta melalui perwakilan-perwakilannya untuk menduduki gedung MPR/DPR di Jakarta.

Memang terbukti, mahasiswa kala itu tak butuh uang atau materi, mereka hanya butuh moral kebangsaan dan dukungan dari segenap rakyat. Tak butuh suatu kepentingan apapun kecuali Perubahan untuk bangsa ini, tak ada nama dan tokoh dikala itu.

Amien Rais yang dinobatkan menjadi reformis saja tiada mahasiswa yang tahu dikala itu, namun tak peduli, yang penting ada perubahan kedepan untuk rakyat kedepannya, padahal politikus yang ikut berorasi tak ia saja, banyak yang jauh lebih murni, bukan sekedar carmuk alias cari muka.

Seluruh masyarakat Jakarta hingga luar Jakarta, mereka berbondong-bondong mengumpulkan makanan dan minuman ke dalam Gedung MPR/DPR hanya untuk mahasiswa yang membela hak rakyat. Terlihat dari anak kecil hingga tua renta membawa pisang dari kampungnya, walaupun satu tandan tapi berat, rela jalan membongkok ke gedung di Senayan itu.

Terasa bersatunya bangsa ini saat itu. Tak ada lagi perbedaan diantara mereka, isyu perbedaan suku, agama, ras dan antar golongan, dikubur dalam-dalam. Begitu bersatunya Indonesia, saat Reformasi 98.

Tapi akhirnya, mereka disusupi oleh ‘pasukan iblis dari luar’ dengan mengadu domba diantara mereka, antara sesama anak bangsanya sendiri. Isyu yang kental, adalah isyu pemecah belah antara pribumi dan Cina, atau antar Islam dan Kristen, maka terjadilah Kerusuhan 98 yang bukan oleh mahasiswa.

Hal ini sudah tercium, adalah pola atau modus yang biasa diterapkan oleh kaum satanic illuminatis dunia, bahkan hingga saat ini. Nyaris semua kekacauan, kerusuhan dan peperangan di dunia, dipicu dari ‘sel-sel’ alias kaki-tangan atau budak yang sengaja dibuat untuk memperlancar tujuan  dari sistim mereka.

Walau begitu, semua sudah terlambat. Selama 32 tahun, atau lebih dari 3 dekade, cara cuci-otak sistim dajjal ala barat ini berhasil. Artinya walaupun suatu saat Soeharto dengan New Ordenya lengser, namun cara dan pola pikir manusia Indonesia akan terpatri terus dan terus dan terus, hingga beberapa generasi mendatang.

Tak diajarkan untuk patuh pada aturan dan undang-undang kecuali untuk kepentingan kelompoknya, miskinnya kedisiplinan dan tanggungjawab, tak adanya inisiatif dan kesadaran pada rakyatnya yang bermental rendah akan melahirkan generasi dengan mental tambah parah, begitulah seterusnya, membuat Indonesia harus diganti masyarakatnya bukan presidennya.

Pada era Orde Baru itu, rakyat Indonesia justru diajarkan oleh maraknya korupsi, gilanya kolusi, sintingnya nepotisme untuk kelompok dan kerabatnya.

Semua anggota dewan hanya manggut-manggut kepada presiden, apapun keputusannya mereka kompak dengan menyetujuinya.

“Apakah setuju?” ucap ketua MPR, Sontak semuanya yang sudah tertidur dibangku masing-masing pasti teriak “Setuju..!” tanpa ada interupsi satupun.

Maka kocek mereka pun langsung menebal tanpa ada basa-basi, dan terbukti hingga kini pola sinting sistim dajjal itu masih terbentuk dan dipertahankan oleh kaum penganut satan ini. Hal itu bisa terjadi karena efek dari brainwashed dengan memutar balikkan sejarah dan menganggap Soeharto adalah bagai super hero.

Mirip Korea Utara, dimana hingga kini rakyatnya merasa ‘nyaman’ saja dengan hidupnya yang sederhana, tanpa ponsel, tanpa internet, miskin pun tak terasa, tak tahu dunia luar, ada apa diluar sana?

Tiada yang tahu kecuali segelintir rakyat yang telah memakai tv satelit ber-parabola. Persis pola politik dan kediktatoran pada masa Orde Baru.

Jadi jangan beranggapan bahwa New Order telah musnah dari bumi Indonesia dan dari masyarakat Indonesia, namun ia ibarat “api dalam sekam” yang suatu saat akan membara, bangkit dan berkuasa kambali.

Akankah sistim ini kembali lagi? Kita lihat saja, berapa persen yang sudah kena cuci-otak, berapa persen yang telah pintar membaca geo-politik dunia, termasuk geo-politik Indonesia.

Soeharto, the smiling General sang ahli strategi dan ahli pemutar-balikkan sejarah, ini adalah fakta dan kenyataan. Maka telanlah walau itu pahit. Soeharto, jenderal yang  ‘mbalelo’ pada atasan, jenderal tatanan dunia baru satu komando, kaki tangan ‘the New World Order’ , yang pernah menerapkan sistim dajjal besutan illuminati di Bumi Pertiwi, selama 32 tahun lamanya.

TEMPO / Rully Kesuma

Walau begitu, beliau pernah menjadi Presiden kita, Indonesia, dan patut juga untuk dihormati. Namun efeknya nyata akan bertahan lama, membekas di otak bapak-ibu masa kini yang mana ketika itu mereka masih remaja.

Didikannya akan terus memiliki efek sangat panjang dan telah tertanam hingga ke masa yang akan datang, hingga dua atau tiga generasi, misalnya budaya korupsi, kolusi dan nepotisme atau kongkalikong.

Belum lagi masalah sosial lainnya, dari buang sampah sembarangan, sampai cara berfikir yang sempit dan tertutup, karena memang dulu informasi memang dibatasi bahkan ditutup, nyaris mirip Korea Utara ada masa kini.

Tak ada yang berani kepada presidennya, membuat cara berfikir mereka menjadi sempit dan rasa frustasi yang berkepanjangan itu akhirnya justru berbalik memuji presidennya, walau terpaksa, karena mereka tak tahu lagi yang dapat mereka lakukan. Karena semua informasi diseleksi sangat ketat dan direkayasa sebaik mungkin, mereka tak tahu apa saja yang sebenarnya terjadi di diluar negaranya.

Dulu pada masa Orba, jika ada berita nasional di TVRI atau berita di RRI yang direlay setiap jamnya ke seluruh radio swasta, maka nyaris seluruh rakyat Indonesia langsung ganti channel, tak perduli dengan berita yang terdengar semuanya baik-baik saja, dan beralih memutar kaset.

(sumber/ judul asli: Siapa Sebenarnya Suharto, sumber: eramuslim.com, dari buku: Siapa Sebenarnya Suharto; Eros Djarot; 2006/ merdeka.com/ olah artikel: ICC).