Petani Di Bawah Bayang Tirani: Ketika Negara Mengkhianati Rakyat!

oleh -897 Dilihat
oleh
Foto bersama usai Diskusi Petani dan Tirani, Doc: Acehdayli.id

Banda Aceh,AcehDayli.id Dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional, Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala (USK) menyelenggarakan Diskusi Publik bertema “Petani dan Tirani” di MPR Fakultas Pertanian, hari Selasa, 24 September 2024.

Diskusi ini menghadirkan para ahli dan akademisi untuk membahas isu agraria yang masih membelenggu kehidupan petani Indonesia.

Acara yang dimoderatori oleh Andrew Galota Saragih, mahasiswa Teknik Pertanian, berlangsung penuh antusiasme, dengan peserta dari berbagai kalangan akademisi, mahasiswa, hingga aktivis sosial.

Diskusi ini menyoroti masalah-masalah mendasar yang dihadapi petani, mulai dari ketidakadilan agraria hingga tirani pemerintahan yang kerap mengabaikan hak-hak kaum tani.

Menggali Akar Masalah Agraria

Muhammad Yulfan, SH., MH., sebagai pemateri pertama, membuka diskusi dengan mengungkap bahwa isu agraria di Indonesia tak pernah sepenuhnya tuntas.

“Konflik agraria di Indonesia sudah terjadi sejak lama, dan ironisnya, aturan hukum sering kali tidak berpihak pada petani kecil,” jelasnya.

Ia menyinggung kasus Limpok di Aceh, di mana aturan hukum melarang pembangunan di daerah sungai yang dilindungi, namun realitanya, kini justru berdiri rusunawa dan gedung-gedung pemerintah.

BACA..  Tular Nalar Mafindo Lakukan Survei Most Significant Change di Aceh

Menurut Yulfan, UU No. 10 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah lebih menguntungkan pemilik modal besar daripada petani.

Ia menyoroti bagaimana hukum adat hanya diakui jika tertulis dalam undang-undang, padahal esensi hukum adat adalah kearifan lokal yang berlaku secara turun-temurun.

“Konflik agraria harus diselesaikan dengan pendekatan humanis, karena jika tidak, hanya akan memunculkan lebih banyak ketidakadilan,” tambahnya.

Tirani Pemerintah dan Kebisuan Masyarakat

Pemateri kedua, Iping Rahmat Saputra, S.IP., M.Sc., memberikan pandangan tajam tentang sikap apatis masyarakat terhadap ketidakadilan agraria.

Ia menyatakan bahwa diamnya masyarakat, terutama kaum intelektual, sama dengan melakukan “bunuh diri sosial.”

Menurutnya, pemerintah yang sewenang-wenang merupakan bentuk tirani modern yang sudah mengakar dalam sistem pemerintahan.

“Tirani bukanlah hal baru, tetapi respons kita sebagai masyarakat sering kali diam dan tidak kritis. Kita telah menjadi korban pengelabuan yang dibiarkan terus berlanjut,” tegas Iping, mengutip pemikiran Hannah Arendt yang menyatakan bahwa tidak semua yang legal itu bermoral.

Ia menambahkan, “Banyak kejahatan terjadi karena banyak orang baik memilih diam.”

Dalam konteks perlawanan agraria, Iping menyinggung berbagai kasus pemberontakan petani di Indonesia, seperti yang terjadi di Banten pada 1988.

BACA..  Tular Nalar Mafindo Lakukan Survei Most Significant Change di Aceh

Ia mengajak para mahasiswa untuk lebih kritis dan terlibat dalam aksi nyata, karena menurutnya, diskusi tanpa aksi hanya akan menjadi hampa.

Revolusi Pikiran dan Kritis Kreatif

Saiful Mahdi, S.Si, M.Sc., pemateri ketiga, menekankan pentingnya berpikir kreatif dan kritis dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial, termasuk ketimpangan agraria.

Ia mengkritik sistem pendidikan yang cenderung menormalkan satu bentuk kecerdasan tertentu, sehingga membatasi ruang bagi kreativitas.

“Berpikir kritis itu harus thinking out of the box. Kita harus berani keluar dari pola pikir yang sudah terlalu lama mengakar,” ujar Saiful.

Ia mengingatkan bahwa problem pertanian di Indonesia, seperti tingginya harga benih dan ketergantungan pada impor, tidak bisa diselesaikan hanya dengan pendekatan teknis.

Menurutnya, solusi harus berangkat dari pemikiran kritis yang menantang kebiasaan yang selama ini dianggap normal.

Mahasiswa, Garda Terdepan Perjuangan

Sesi diskusi juga menjadi ajang para mahasiswa untuk mengajukan pertanyaan kritis kepada para pembicara. Salah satu peserta, Zulaika dari Fakultas MIPA, menanyakan bagaimana cara menghilangkan feudalisme dalam struktur pertanian yang menekan petani kecil.

BACA..  Tular Nalar Mafindo Lakukan Survei Most Significant Change di Aceh

Menjawab pertanyaan ini, Iping menegaskan bahwa feudalisme saat ini telah berubah bentuk, namun esensinya tetap sama—rakyat kecil masih berada di bawah kendali politik dan kekuasaan yang tertulis di atas kertas.

Diskusi ditutup dengan penekanan bahwa perlawanan terhadap tirani agraria tidak hanya soal menang atau kalah.

“Yang terpenting adalah menunjukkan bahwa kita tahu ada yang salah, dan kita berani melawan meskipun tanpa kepastian menang,” pungkas Iping.

Para pembicara sepakat bahwa mahasiswa harus terus konsisten menjadi suara masyarakat dan menjaga semangat kritis agar tidak terseret dalam sikap apatis yang mematikan.

Diskusi ini bukan hanya membuka mata para peserta tentang ketidakadilan yang dialami petani, tetapi juga menegaskan pentingnya peran mahasiswa dalam memperjuangkan hak-hak rakyat.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Saiful Mahdi, “Merdeka dalam pikiran adalah langkah pertama menuju perubahan.”

Acara ini mengingatkan kita semua, bahwa meski dalam bayang-bayang tirani, perjuangan petani dan rakyat kecil harus terus hidup, dan diskusi seperti ini adalah bentuk awal dari pergerakan besar yang mampu mengguncang status quo.