JAKARTA | AP-”Pao An Tui adalah sisi kelam masyarakat Cina di era awal kemerdekaan Indonesia..!’’ pernyataan ini ditegaskan oleh mantan wartawan senior Republikayang kini tengah ‘melanglang dunia’.
Teguh yang di dalam tubuhnya mengalir darah Betawi, Cina, dan Jawa mengungkapkan bahwa sekarang memang ada informasi yang simpang-siur mengenai sejarah pembentukan laskar bersenjata etnis Cina di masa perang kemerdekaan: Pao An Tui (PAT).
‘’Kalau mau mengangkat pahlawan dari etnis Cina ini, maka lebih baik yang dijadikan itu adalah kelompok Kin An Tui, yakni sebuah kelompok sosial yang membantu masyarakat Tionghoa dan pribumi pada masa Jakarta diduduki Belanda di awal kemerdekaan itu juga,’’ katanya.
Teguh menegaskan, ada milisi bersenjata, yakni Pao An Tui, yang bercitra buruk di mata rakyat Indonesia. Karena, milisi yang dibentuk secara ‘nasional’ sekitar pertengahan 1947 ini dulu dilatih dan dipersenjatai oleh tentara Belanda (KNIL).
Tempat latihan militer mereka adalah di Cimahi, Jawa Barat. Fakta Pao An Tui tidak berpihak pada Republik Indonesia juga dibuktikan dengan adan serangan laskar Pau An Tui di Medan ke pihak TNI yang saat itu di bawah komando Jamin Ginting.
Alasan penyerangan mereka adalah karena ingin membalas dendam kepada terhadap ‘laskar liar’. ’’Akibat penyerangan ini mereka pun balik dihabisi oleh pasukan TNI yang dipimpin Jamin Ginting itu,’’ katanya.
‘’Ingat Jendral Spoor dulu saja tak mau merangkulnya. Bahkan, Syahrir pun yang sempat mau merangkul mereka, tiba-tiba membatalan keputusannya. Sikap Syahrir berubah setelah dicegah oleh Tokoh Partai Tionghoa Indonesia,’’ kata Teguh.
Menurut Teguh, jika sekarang ada pembelaan terhadap Pao An Tui dasarnya hanya mengacu pada sebuah memoar yang ditulis Oei Tjoe Tat. Dia mengatakan bahwa Pao Aun Tui tidak menghalangi kemerdekaan Indonesa.
‘’Memoar inilah yang banyak dikutip sejarawan Cina di Indonesia. Selain itu tak ada. Bahkan catatan sejarah lain menyatakan Pao An Tui pada peristiwa 10 November 1945 memihak pada tentara Belanda. Data ini diperkuat berbagai foto perang kemerdekaan yang ada di arsip Belanda, yakni dalam situs gahetna.nl. Di sana jelas sekali terlihat fakta bahwa Pao An Tui dilatih oleh KNIL (tentara Belanda),’’ tegasnya.
Menurut Teguh, jika pada akhirnya PAT menjadi pro-Republik, itu terjadi ketika Belanda mulai terdesak di level diplomatik. Konsul Cina di Jakarta menyuplai informasi yang menjadi dasar bagi PAT untuk mengambil kebijakan politik.
”Belanda telah memperkirakan semua itu, dan mereka tidak bernasib sama dengan Jepang,’’ ujar Teguh.
Dalam soal Pao An Tui, Teguh telah menulsikan kajiannya secara komprehensif pada rubrik ‘Kazanah’ di Harian Republika sekitar lima tahun silam, yakni pada awal tahun 2011.
Silahkan bertanya kepada sejarawan ber-etnis Tionghoa di Indonesia. Mereka pasti tak berbicara banyak, karena yang mereka ketahui hanya sedikit. Yang banyak adalah upaya pengingkaran terhadap sisi kelam Pao An Tui.
Seorang kawan sedang meneliti Pao An Tui, dengan membaca arsip Belanda. Dia sampai pada kesimpulan Pao An Tui Surabaya terlibat membantu NICA dalam perang 10 Nopember (lihat penelitian Andjarwati Noorhidajah yang terangkum dalam buku Tionghoa di Surabaya, serta memoir Soemarsono — komandan Pemuda Rakyat).
Bung Tomo pun marah dan mengobarkan semangat anti-Tionghoa.Akibatnya, terjadi pembantaian masyarakat Tionghoa di Medan, Tangerang, Bagan Siapi-api, dan kota-kota di Jawa Barat dan Tengah; Karawang.
Keterlibatan Pao An Tui Surabya membantu NICA inilah yang diingkari banyak sejarawan masyarakat Tionghoa Indonesia. Pengingkaran itu terjadi sejak awal.
Buktinya, ketika masyarakat Tionghoa Medan berupaya melindungi diri, mereka membentuk Pao An Tui dan meminta Jenderal TED Kelly, komandan pasukan Inggris, mempersenjatai mereka.
Fakta yang digunakan masyarakat Tionghoa Indonesia untuk membersihkan nama Pao An Tui adalah organisasi ini resmi dibentuk 28 Agustus 1947 di Jakarta atas restu PM Sutan Sjahrir. Oey Tjoe Tat, mantan menteri keuangan era Soekarno, juga menggunakan fakta yang sama untuk mengatakan Pao An Tui bukan antek Belanda.
Oey Tjoe Tat mengingkari keterlibatan Pao An Tui di Surabaya. Namun Siaow Giok Tjhan, pahlawan kemerdekaan Indonesia dari etnis Tionghoa, tidak. Demikian pula Liem Koen Hian, tokoh Partai Tionghoa Indoneisia (PTI) yang sejak 1930 mengkampanyekan nasiolisme Indonesia bagi masyarakat Tionghoa peranakan.
Sikap keduanya terlihat saat menanggapi pembantaian Tionghoa di Tangerang, dengan menuduh Belanda diuntungkan oleh pembantaian itu. Fakta memperlihatkan, kerusuhan Tangerang dipicu penurunan merah putih oleh seorang anggota Pao An Tui.
Pao An Tui di Tangerang dibentuk oleh Chung Hua Hui (organisasi para tuan tanah kaya yang menjadi anak emas Belanda selama sekian ratus tahun) yang pro NICA. Ada informasi yang sulit diklarifikasi menyebutkan Pao An Tui Tangerang berniat mendirikan negara Capitanate of Tangerang.
Pao An Tui di Jakarta dipersenjatai Jenderal Spoor, komandan NICA. Pao An Tui di Bandung diberi akses ke perdagangan gelap senjata di Singapura oleh Raymond Westerling (lihat biografi Westerling si pembantai).
Benny G Setiono, penulis buku Tionghoa dalam Pusaran Politik, mati-matian membersihkan nama Pao An Tui.
Dia menulis; Pao An Tui tidak pernah menghambat revolusi Indonesia. Adalah benar ada anggota Pao An Tui yang berpihak ke NICA, mungkin karena sakit hati atau hal lain.
Presiden Soekarno pun nyaris mengakui Pao An Tui. Namun ia mengurungkan niatnya setelah sebagaian masyarakat Tionghoa, terutama kaum kiri dan nasionalis macam Lim Koen Hian gan SGT, menentangnya.
Pao An Tui tidak punya jasa sama sekali dalam perjuangan Indonesia. Organisasi ini adalah simbol oportunistik Tionghoa Indonesia, yang hanya sibuk menjaga properti ketimbang membantu Indonesia memerdekakan diri. Mereka (etnis China) tidak peduli siapa yang akan berkuasa di RI; Belanda atau Indonesia, yang penting properti usaha mereka selamat.
Laskar Rakyat melihat properti Tionghoa adalah logistik bagi Belanda. Ketika taktik Bumi Hangus dalam perang kemerdekaan dijalankan, seluruh properti Tionghoa di desa-desa harus dimusnahkan.
Di Karawang, dalam sepekan lima penggilingan padi milik etnis Tiongoa hancur dibakar, dan akses distribusi diputus. Akibatnya, pasokan pangan ke Jakarta — induk pasukan NICA — hancur.
Spoor dan TNI tampaknya tahu bagaimana menjaga jarak dengan Pao An Tui. Keduanya belajar dari pengalaman Jepang yang dikhianati Pao An Tui di Tungchow.
Alkisah, PAT garnisun Tungchow yang dibentuk dan dilatih Jepang sebagai serdadu boneka, dan melayani Jepang selama periode gencatatan senjata Tangka, tiba-tiba membokong dari belakang. PAT membantai 250 serdadu Jepang dan Korea di Tungchow. (lihat Japanese and China War, karya Robert Hunter Boyle)
Satu hal yang disesali SGT dan Lim Koen Hian sampai akhir hayatnya adalah mengapa Bung Tomo mengeneralisir bahwa seluruh Tionghoa di Indonesia pro Belanda. Bung Tomo mengabaikan fakta Tony Wen, keturunan Tionghoa asal Malang membentuk Pasukan Berani Mati untuk menghambat Belanda. Laskar Liar mengabaikan hal ini, sampai akhirnya Tragedi Mergosono — pembakaran 30 etnis Tionghoa Malang, Agustus 1947 — terjadi.
Barangkali, luka telah menganga, dan tak mungkin hapus dalam situasi genting. Maka, yang ada di benak pejuang Indonesia adalah PAT merupakan antek Belanda. Ketika Pao An Tui dibentuk di banyak kota di Jawa, Laskar Rakyat bereaksi dengan menyerangnya.
Ada analisis lain soal Peristiwa Tangerang Juni 1946. Pembantaian itu melibatkan banyak pihak. Laskar liar yang terdiri dari para penjahat, kelompok jawara yang ingin mengambil tanah-tanah milik para Tuan Tionghoa, dan Laskar Hitam — milisi Muslim keturunan Arab yang ingin mendirikan negara Islam di Tangerang.
Fakta keterlibatan Laskar Hitam terlihat di Mauk, dengan menyelenggarakan sunat paksa terhadap semua lelaki Tionghoa di Mauk, Selapajang, Teluk Nata, dan lainnya.
Dari segi kepentingan taktik, pembantaian itu merupakan taktik bumi bangus untuk memutus jalur suplai makanan dari wilayah produksi. Tangerang saat itu adalah lumbung padi terdekat bagi Jakarta.
Tidak ada fakta apakah PAT di Jakarta, yang bermarkas besar di Jl Mangga Besar, dan kantor administrasinya di Jl Pintu Kecil No 6, terlibat perang dengan laskar rakyat.
Informasi tambahan, PAT Jakarta — dan seksi-seksinya di Bandoeng, Karawang, Sukabumi, Djatibarang, Cirebon — dibentuk oleh Chung Hua Tsung Hui, organisasi Tionghoa pro nasionalis Kuomintang pimpinan Ciang Kai Sek. Pembentukannya dibantu Konsul Jenderal Cina di Jakarta.
Sumber : Republika