“Kalau saya gak lihat sendiri bukti penggunaan dana, bagaimana bisa percaya?” ujar seorang ibu warga Bumi Muda Sedia, menahan air mata di ujung suaranya.
KUALASIMPANG | atejhdaily.id – Senja menyelimuti kota Karang Baru ketika seorang petani bernama Agus (45 tahun) menoleh ke ladangnya yang kian tampak kering dan kumuh.
Di sela-sela daun jagungnya, ia menyimpan brosur program CSR Pertamina yang konon seharusnya menyentuh hidupnya. Namun hingga kini, ia dan tetangga terus menunggu kabar keuntungan nyata dari dana itu.
Di bilik rapat DPRK Aceh Tamiang, atmosfer tampak tegang namun penuh harap. Para wakil rakyat memanggil manajemen Pertamina EP Field Rantau untuk mempertanggungjawabkan dana CSR yang selama ini dinilai tidak transparan dan belum dirasakan oleh publik luas.
Deru Aspirasional Warga
Warga bergantung pada janji-janji CSR—mulai dari pembangunan infrastruktur kecil hingga program bantuan sosial. Tapi di banyak sudut desa, jalan akses masih rusak, fasilitas sekolah terbengkalai, dan masyarakat mempertanyakan: ke mana uang CSR itu pergi?
“Kalau saya gak lihat sendiri bukti penggunaan dana, bagaimana bisa percaya?” ujar seorang ibu warga Bumi Muda Sedia, menahan air mata di ujung suaranya.
DPRK Menuntut Keterbukaan
Dalam panggilan resmi itu, Ketua Komisi CSR DPRK menegaskan bahwa penggunaan dana CSR harus disampaikan secara terbuka: jumlah, penerima, jenis kegiatan, dan laporan audit. Jangan ada lagi “kotak hitam” yang menutup akses warga terhadap informasi.
Pemanggilan ini bukan semata gertak politik. Bagi DPRK, tuntutan keterbukaan adalah amanah demokrasi dan bagian dari hak publik untuk mengetahui bagaimana perusahaan besar mempengaruhi kehidupan mereka.
Tekanan Jalan Tengah
Manajemen Pertamina EP Field Rantau hadir di hadapan sidang dengan posisinya terpojok. Mereka dihadapkan pada tekanan moral dan legal: segera buka data CSR atau hadapi konsekuensi formal. Laporan tertulis dengan tabel dan audit independen menjadi opsi mendesak.
Namun, tekanan itu tidak hanya datang dari DPRK. Warga menyadari bahwa suara mereka kini berada di persimpangan: memilih diam berarti memberi ruang penyalahgunaan; bersuara berarti mempertaruhkan konflik yang kemudian bisa merugikan.
Harapan dalam Transparansi
Bagi masyarakat seperti Agus dan ibu di Desa Bumi Rakyat, satu hal lebih penting dari janji: bukti nyata. Pembangunan fasilitas dasar, dukungan usaha kecil, akses layanan publik—semua itu bisa menjadi saksi jika dana CSR benar-benar dijalankan.
DPRK dengan lantang menyuarakan: CSR tidak boleh menjadi slogan kosong. Perusahaan harus menjadikan pertanggungjawaban bukan beban, melainkan jembatan kepercayaan. Jika manajemen tak mampu membuka data dengan jujur, warga memilih satu jalan: memanggil lembaga pusat dan audit publik agar cahaya transparansi menyinari setiap sudut penggunaan dana CSR. [SZ Mukhtar].










