Seperti yang sudah diperkirakan sebelumnya, rezim Soeharto tidak tinggal diam menghadapi hal ini. Sejumlah perlakuan yang tidak menyenangkan diterima para tokoh Petisi 50, termasuk Nasution sendiri. Misalnya saat mantan wapres Adam Malik meninggal, Nasution yang pada saat itu datang melayat dan sudah dalam posisi takbiratul ikhram untuk sholat ghoib langsung didorong punggung oleh anggota pasukan pengawal presiden agar segera pergi, hanya karena ada pengumuman bahwa wapres Umar Wirahadikusumah datang ke rumah duka.”Waktu itu saya cuma bisa mengucapkan Astagfirullah al azhiem, mau protes, protes sama siapa, sama Adam Malik? Nggak bisa,” kenang Nasution seperti yang tertulis dalam buku Bisikan Nurani Seorang Jenderal.Pasokan air ledeng ke rumah Nasution pun diputus sehingga ia harus membuat sumur sendiri, selain itu media massa tidak diperbolehkan memuat wawancara dan tulisan Nasution. Bahkan di Mesjid Cut Meutia yang ia bangun, setiap sholat Jum’at tentara selalu mengintai dalam posisi siap tembak agar Nasution tak naik mimbar. Cuma itu? Tidak, Nasution juga tidak diperbolehkan memenuhi undangan keluarga pahlawan revolusi yang hendak mengadakan hajatan, walau rumah mereka tidak seberapa jauh dari rumah Nasution.
Nasution juga amat kesal ketika konsep Dwifungsi ABRI yang ia buat untuk sekadar menyampaikan aspirasi ABRI dalam dunia politik disalahgunakan Soeharto untuk membuat ABRI lebih mendominasi kekuasaan. Selain itu Golkar yang Nasution dirikan dulu untuk membendung pengaruh PKI malah dijadikan mesin pengumpul suara dalam Pemilu oleh Soeharto dengan cara-cara yang tidak demokratis. Akibatnya Nasution bersumpah tidak akan mengikuti pemilu selama Soeharto berkuasa walau halaman rumahnya sempat dijadikan tempat pemungutan suara.
Ketika Nasution sudah renta dan Soeharto merasa Nasution tidak perlu lagi ditakuti, Soeharto merangkulnya kembali dengan memberi gelar Jenderal Besar. Nasution tetap mempergunakan pertemuan dibalik pemberian gelar itu untuk menyampaikan masukannya, tetapi Soeharto buru-buru pergi dengan alasan hendak buang air.
Atas berbagai hal yang menyakitkan yang ditimpakan Soeharto selama 20 tahun kepadanya, Nasution menyatakan :”Saya tidak dendam. Jangankan pada orang yang menyiksa batin saya selama 20 tahun, pada orang yang telah membunuh anak sendri pun saya tidak dendam, pulang dari Pulau Buru (anggota Cakrabirawa) datang ke rumah minta maaf, ya saya maafkan.”
Sebenarnya kalau Nasution berdiam diri dan menutup mata terhadap berbagai ketidakberesan dalam pemerintahan rezim Soeharto, maka hidupnya akan jauh dari masalah. Tetapi Nasution bukan tipe orang seperti itu, ia menolak bungkam walau tingkahnya berbuah derita panjang, sebuah sikap yang tidak bisa dimiliki sembarang orang. [http://www.senandungwaktu.com]