Bengkulu | AP,- Dahi Ardi langsung mengernyit ketika ditanya soal penangkapan dua hakim pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) di Bengkulu oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Nggak percaya saya sama sistem hukum di Indonesia,” ujar karyawan sebuah restoran di Jakarta itu.
“Hakimnya bisa disuap, banyak yang begitu kan,” tambahnya.
Fajar, rekan Ardi yang sedang duduk di sampingnya, menimpali. “Hukum di sini bisa dibeli pakai duit. Butuh ekstra pengawasan.”
Pendapat dua warga Jakarta itu setidaknya mencerminkan opini khalayak mengenai Janner Purba dan Toton, dua hakim pengadilan tindak pidana korupsi di Bengkulu yang diduga menerima suap sebesar Rp650 juta dan kini berstatus tersangka.
Namun juru bicara Komisi Yudisial Farid Wajdi berkeras, pihaknya telah melakukan fungsi pengawasan terhadap hakim.
Dia mencontohkan bahwa sepanjang 2015 ada 116 kasus menyangkut etika hakim yang direkomendasikan kepada Mahkamah Agung untuk diberikan sanksi ringan, sedang, dan berat.
Akan tetapi, menurutnya, ada dua hal yang perlu dilakukan untuk membuat pengawasan menjadi lebih efektif.
“Pertama, rekomendasinya harus mengikat, Selanjutnya, sikap terbuka, transparan, dan keinginan yang kuat dari Mahkamah Agung.
Karena sampai sekarang Mahkamah Agung sangat konsisten untuk tidak menjalankan rekomendasi Komisi Yudisial dengan alasan bahwa itu masuk teknis yudisial,” kata Farid.
Tudingan Farid didasari oleh fakta bahwa selama ini hasil pengawasan Komisi Yudisial diserahkan ke Mahkamah Agung dalam bentuk rekomendasi. MA kemudian yang berhak menindaklanjuti rekomendasi tersebut.
Soal pembagian tugas ini ditegaskan Suhadi, juru bicara Mahkamah Agung mengatakan, “Tugasnya KY yang menyangkut kode etik dan perilaku hakim.”
“Sudah ada pembagian tugas masing-masing. Kalau bukan kewenangan KY ya tidak diterima,” kata Suhadi.
Asep Iriawan, seorang mantan hakim juga berkomentar, menilai kasus-kasus yang melibatkan hakim tidak bisa diminimalisasi hanya dengan pengawasan, Menurutnya ada tiga hal yang menciptakan kasus-kasus tersebut.
Pertama menurutnya adalah perekrutan hakim, Asep menilai Mahkamah Agung merekrut orang-orang yang bukan ‘bibit unggul’ untuk menjadi hakim.
Dia lalu membandingkan hasil rekrutan MA tersebut dengan para pengacara berkompeten di sejumlah kantor advokat, setelah perekrutan Asep merujuk pada pembinaan yang menurutnya banyak hakim yang tidak mendapat proses pembinaan.
“Mereka lalu disebar ke berbagai pengadilan negeri dan ditempatkan di daerah-daerah yang tidak ada perkaranya, sehingga mereka nganggur dan sering pulang ke rumah asal mereka, apalagi yang anak-anak Kota,” kata Asep.
Mengacu pada kasus Janner Purba yang berpredikat hakim pengadilan tindak pidana korupsi sekaligus ketua Pengadilan Negeri Kepahiang Bengkulu, Asep menekankan bahwa hukum di Indonesia kekurangan suri tauladan.
“Kalau seorang ketua pengadilan Negeri melakukan itu, berarti di bawahnya tidak ada wibawa dong, karena ketuanya main perkara kan? Di bawahnya kan tertawa, ‘Di atas main, masa gue nggak main?’” seloroh Asep.
Di samping Janner Purba dan Toton, ada lima hakim pengadilan tindak pidana korupsi yang ditangkap KPK sepanjang tiga tahun terakhir.
Kelima hakim itu telah divonis dengan hukuman penjara antara enam hingga 11 tahun.
Sumber : bbc.com