Konflik Palestina-Israel Berkepanjangan, Benarkah Boikot Jadi Solusi?

oleh -172 Dilihat

Menginjak 1 bulan, konflik antara Palestina dan Israel kian memburuk. Serangan demi serangan kian diluncurkan oleh Israel yang menyasar rumah ibadah, sekolah, dan kamp pengungsian. Sementara, keselamatan 2,3 juta warga sipil Gaza kian terancam.

Mayoritas yang menjadi korban dalam peristiwa ini adalah, wanita dan anak-anak. Meski berbagai pihak telah menyuarakan gencatan senjata termasuk dewan keamanan PBB, nyatanya hal tersebut tidak diindahkan oleh Israel.

Menyikapi hal tersebut, masyarakat berbondong-bondong melakukan boikot sebagai bentuk protes kepada israel atas kejahatan perang yang dilakukannya. Aksi ini dilakukan sebagai ekspresi solidaritas masyarakat dunia, khususnya masyarakat indonesia kepada masyarakat palestina. Sebagian percaya, bahwa ini adalah bentuk dukungan yang diperlukan untuk memaksakan perubahan dan menekan pelanggaran hak asasi manusia oleh Israel.

Boikot dilakukan tidak hanya kepada produk yang menyatakan keberpihakannya kepada Israel, namun juga terhadap produk besutan Amerika yang disinyalir menyumbangkan dananya kepada Israel setiap tahunnya dalam bentuk bantuan militer yang disalurkan atas kesepakatan Congessional Research Service (CRS). Sebuah kesepakatan yang diteken oleh Mantan Presiden AS, Barrack Obama di tahun 2016 hingga 2028, untuk berkomitmen memberikan bantuan militer yang akan diterima Israel setiap tahunnya.

Berkat sokongan dari negara Adidaya di dunia, Israel membelanjakan bantuan militer yang didapat untuk mengembangkan sektor militer di negaranya dan membeli peralatan militer canggih untuk terus dapat melancarkan serangan aksi kepada Palestina. Tercatat, bahwa saat ini Israel menempati urutan pertama dalam menerima bantuan luar negeri AS, setelah sebelumnya ditempati oleh Afghanistan.

Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa Israel merupakan sekutu penting bagi Amerika, dan dukungan yang diberikan merupakan bentuk komitmen historis sejak AS memberikan dukungan atas pembentukan negara Yahudi kepada Israel pada tahun 1948.

Sederet merk restoran cepat saji, produk rumah tangga, hingga produk olahraga menjadi sasaran boikot masyarakat. Namun, apakah boikot benar-benar menjadi solusi atas invasi israel kepada palestina?. Apakah dengan mem-blacklist sederet produk maka israel akan menghentikan kejahatan perangnya?.

Jawabannya, belum tentu. Boikot memang tidak serta merta menjadi solusi, namun boikot bisa menjadi pernyataan keberpihakan dan langkah sederhana “bersuara” sebagai masyarakat awam. Gerakan boikot tidak bisa dipandang sebelah mata, lantaran ini telah menjadi gerakan global. Sebuah tagar ramai diperbincangkan di media masa menyusul aksi boikot yang dilakukan masyarakat dunia.

(#BDSMovement). Dikutip dari website (https://bdsmovement.net) Boycott, Divestment, and Sanctions (BDS) Movement merupakan gerakan protes non-kekerasan global. Gerakan ini berupaya menggunakan boikot ekonomi dan budaya terhadap Israel, divestasi keuangan dari negara, dan sanksi pemerintah untuk menekan pemerintah Israel agar mematuhi hukum internasional dan mengakhiri kebijakan kontroversialnya terhadap Palestina.

BDS mengambil inspirasi langsung dari perjuangan anti-apartheid di Afrika Selatan dan gerakan hak-hak sipil AS, yang keduanya secara efektif menggunakan boikot.

Meski dianggap tidak berdampak signifikan, nyatanya akibat boikot yang dilakukan masyarakat dunia, starbucks di Mesir memberikan diskon 80 persen kepada para pembeli dan starbucks di Qatar terlihat sepi pembeli. Hal ini diketahui dari unggahan video di dunia maya.

Sementara di Indonesia, perusahaan cepat saji ayam goreng berlogo M berwarna kuning mengaku tidak berafiliasi dengan perusahaan yang sejenis di internasional dan lalu menggelontorkan uang Rp1,5 Miliar untuk memberikan donasi kepada palestina melalui BAZNAS.

Diketahui, perusahaan cepat saji ayam goreng berlogo M yang memiliki cabang di negara israel, kerap memasok makanan kepada Israel Defense Forces (IDF)/tentara israel sebagai bentuk solidaritas.

Gerakan boikot ini juga turut digalakkan di Provinsi Aceh, sebagai provinsi yang mayoritas penduduk beragama Islam tertinggi di Indonesia. Penulis mengamati, bahwa masyarakat Aceh berkontribusi nyata dalam mengimplementasikan gerakan boikot terhadap produk yang terafiliasi dengan Israel maupun produk besutan saham sekutu.

Terlihat dari restoran cepat saji yang ada di Aceh, terpantau sepi dari pembeli meski di jam makan. Pelan tapi pasti, “suara” masyarakat dunia mulai didengar oleh para pemangku kebijakan atau pemilik usaha.

Jika bukan karena seruan boikot yang dilakukan, mungkin hingga hari ini israel masih memanen dukungan dalam bentuk materiil dari sejumlah merk restoran cepat saji, merk kosmetik, dan merk pakaian di dunia. Percayalah, tidak ada perubahan besar yang tidak dimulai dari langkah kecil dan pastikan bahwa diri kita merupakan salah satu dari bagian pembawa perubahan tersebut.

Penulis: Muzakkir, S.H, Mahasiswa Pascasarjana, Prodi Kenotariatan Fakultas Hukum Unsyiah 2023.