Anang Iskandar: Ganja Medis, Bagaimana di Indonesia

oleh -109 Dilihat

Keputusan CND tanggal 2 Desember 2020 tentang reklasifikasi ganja menyatakan bahwa ganja tidak lagi sebagai golongan narkotika paling berbahaya, tetapi ganja masuk golongan narkotika yang dapat digunakan untuk tujuan medis, ganja boleh ditanam guna diteliti kemanfaatannya untuk bahan pembuatan obat.

Artinya ganja dilarang untuk ditanam, kecuali untuk kepentingan penelitiaan dan industri farmasi yang mendapatkan ijin dari pemerintah cq kemenkes masing masing negara.

Sebelum keputusan CND tanggal 2 Desember 2020 tersebut, seluruh dunia melarang ganja untuk digunakan kepentingan medis, ganja diteliti untuk kepentingan medis saja tidak diijinkan.

Usulan keputusan untuk menurunkan ganja dari golongan narkotika paling berbahaya ke golongan narkotika dapat digunakan sebagai obat berasal dari WHO, prosesnya mengalami perdebatan yang melelahkan.

Pengambilan keputusan sidang CND dilakukan melalui voting dimana 25 anggota tidak setuju, 27 anggota setuju dan 1 anggota abstain.

Itu sebabnya sulit dibayangkan kalau ganja “dilegalkan”. Diturunkan golongannya saja sulit apalagi dilegalkan. Yang jelas sejak keputusan CND tanggal 2 Desember 2020, ganja sudah boleh diteliti dan negara negara di dunia ini dapat memanfaatkan hasil penelitian ganja untuk kepentingan pembuatan obat berasal dari tanaman ganja.

Selama ini negara negara di dunia ini kucing kucingan dalam meneliti ganja untuk kepentingan medis karena ganja tergolong narkotika yang paling berbahaya, yang dilarang untuk diteliti dengan alasan apapun termasuk untuk kepentingan kesehatan. Ganja disejajarkan dengan opium dan kokain.

Banyak pihak di Indonesia yang menginginkan ganja diijinkan ditanam dan dimanfaatkan untuk tujuan medis, dengan mengacu keputusan CND 2 Desember 2020 dan beberapa negara seakan akan telah melegalkan ganja.

Bahkan ada orang perorangan yang unjuk rasa membutuhkan ganja medis untuk pengobatan anaknya yang sedang sakit.

Negara yang viral “legalkan” ganja

Pertama, yang viral seakan akan melegalkan ganja adalah Belanda, dimana di negara tersebut ganja diijinkan untuk dijual belikan secara terbatas di coffee shop di kota amsterdam, hanya di coffe shop tersebut masyarakat boleh membeli ganja dan mengkonsumsinya, diluar coffee shop tetap dilarang.

Di Belanda, menjual ganja diluar coffee shop dilarang secara pidana, sedangkan kepemilikan atau membeli ganja untuk dikonsumsi dengan jumlah tertentu diluar coffee shop juga dilarang dan diancam berdasarkan hukum administrasi, apabila terbukti dipengadilan sebagai pelaku kepemilikan narkotika untuk dikonsumsi, bentuk hukumannya bukan hukuman administrasi tetapi berupa rehabilitasi.

Belanda tidak melegalkan ganja, tetapi dalam rangka pengawasan terhadap pecandu ganja yang membutuhkan ganja disediakan di coffee shop agar tidak membeli ganja di pasar gelap narkotika.

Kedua, yang viral seakan akan melegalkan ganja adalah Amerika, media di Indonesia pertengahan tahun 2019 memberitakan tentang penghasilan Mike Tyson sebagai petani ganja di California dengan penghasilan Rp10 perbulan, sehingga terbangun persepsi bahwa ganja di Amerika seakan akan di legalkan, padahal tidak.

UU Federal mengkriminalkan kepemilikan ganja, namun pada tahun 1996, timbul ketegangan hukum dalam negara federal tersebut, ketika Pemerintah Negara bagian California mengeluarkan proposisi nomor 215 tahun 1996 yang memungkinkan penjualan dan penggunaan ganja untuk kepentingan terbatas bagi pasien dengan AIDS, kangker dan penyakit serius lainnya.

Atas dasar proposisi dari Pemerintah Negara bagian California tersebut, Tyson mendapatkan ijin untuk menanam ganja untuk tujuan khusus bagi pasien dengan AIDS, kanker dan penyakit serius lainnya dengan pengawasan dari pemerintah California.

Ketiga, yang viral seakan akan melegalkan ganja adalah Meksiko, proses legalisasi ganja berjalan di Meksiko melibatkan pengadilan. Proses legalisasi ganja diawali oleh keputusan pengadilan yang mencabut larangan ganja untuk kepentingan pribadi yang dianggap melanggar hak asasi manusia

Keputusan pengadilan tersebut menabrak UU narkotika Meksiko dan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta protokol yang mengubahnya sebagai sumber hukum di negara tersebut. Dimana kepemilikan narkotika untuk kepentingan pribadi berdasarkan konvensi dan UU narkotika Meksiko, dilarang.

Tetapi keputusan Mahkamah Agung Meksiko yang melegalkan ganja tersebut justru disetujui Majelis Rendah menjadi RUU legalisasi ganja (Maret 2021) dan Majelis tinggi membahasnya, meskipun akhirnya pembahasan terhenti, dan drama legalisasi ganja akhirnya berhenti ditengah jalan sampai sekarang.

Keempat, yang viral seakan akan melegalkan ganja adalah Thailand, prosesnya dimulai sejak tahun 2018 dimana Thailand mulai menggunakan ganja untuk kepentingan kesehatan dan mendeklarasikan Thailand sebagai negara pertama di Asean yang memanfaatkan ganja untuk kepentingan obat mendahului keputusan CND tanggal 2 Desember 2020 tentang ganja dimana ganja dapat digunakan untuk kepentingan obat.

Sepertinya Thailand adalah pendukung keputusan CND dalam rangka menurunkan status ganja dari golongan narkotika “”paling berbahaya” menjadi golongan narkotika “dilarang” namun namun ganja dapat diteliti dan digunakan untuk kepentingan obat.

Secara yuridis kepemilikan ganja di Thailand tetap dilarang, tetapi untuk tujuan pengobatan atau penelitian dalam rangka pemanfaatan ganja untuk kepentingan medis, pemerintah Thailand menjadi negara pertama di asean yang mengijinkan ganja untuk keperluaan medis menyusul hasil sidang CND yang mencabut dalam arti menurunkan klasifikasi ganja dari narkotika paling berbahaya.

Namun Pemberitaan di Media seakan akan terjadi legalisasi ganja di Thailand, sehingga berita legalisasi ganja viral dalam minggu ini.

Bagaimana ganja di Indonesia ?

Sudah hampir 2 tahun paska CND menetapkan klasifikasi ganja tidak lagi sebagai narkotika paling berbahaya, menjadi narkotika yang dapat diteliti dan dimanfaatkan untuk kepentingan medis, pemerintah Indonesia belum ada tanda tanda memanfaatkan ganja untuk kepentingan medis.

Menteri Kesehatan berdasarkan UU nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika “dilarang” mengijinkan siapa pun untuk melakukan penelitian tentang pemanfaatan ganja untuk medis.

Dalam rancangan perubahan UU nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika yang digodok sekarang ini, disatu sisi tidak ada bahasan tentang penurunan ganja dari golongan 1, disisi lain Kemenkes juga belum ada tanda tanda akan merubah ganja menjadi golongan 2 atau golongan 3 dalam lampiran UU narkotika.

Artinya penanaman dan pemanfaat ganja untuk kepentingan medis tetap dilarang berdasarkan UU nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika, meskipun CND telah memutuskan ganja tidak lagi sebagai narkotika paling berbahaya.

Paska sidang CND 2 Desember 2020, negara negara didunia ini berhak mengijinkan penanaman ganja sebagai tanaman industri untuk tujuan medis, tentu dengan melibatkan masyarakat dengan aturan tertentu dan pengawasan yang ketat karena ganja termasuk narkotika yang penanaman, kepemilikannya dilarang dan penggunaan obat yang berasal dari ganja harus dengan resep dokter.

Kalau orang perorangan memerlukan obat berbahan ganja (ganja medis), yang diperlukan orang tersebut sesungguhnya adalah kehadiran industri farmasi Indonesia agar dapat membuat obat berbahan ganja untuk kebutuhan obat dalam negeri dan export.

Sesungguhnya yang paling dirugikan dari pelarangan ganja untuk tujuan medis adalah Industri farmasi Indonesia karena tidak dapat bersaing dengan industri farmasi negara lain yang lebih dulu diijinkan oleh negaranya untuk memproduksi obat berbahan ganja.

Dunia farmasi indonesia bisa jadi hanya sebagai penonton atau importir, kalau ada masyarakat yang membutuhkan obat berbahan ganja, tinggal import dari industri farmasi negara lain.

Salam anti penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Rehabilitasi penyalah gunanya dan penjarakan pengedarnya.

Penulis: Dr Anang Iskandar, ahli hukum narkotika mantan KA BNN.