Banda Aceh I AP– Di penghujung masa jabatannya. Zaini Abdulah kembali melakukan perombakan ditubuh jajaran pemerintah Aceh. Atas tindakan itu menuai polemik sekaligus berlarut-larut. Padahal sebelumnya baru saja Plt Soedarmo melakukan mutasi jabatan pada Januari 2017 setelah sebelumnya mendapat persetujuan dari Mendagri.
Hal ini dinillai cacat prosedur sebab bertentangan dengan peraturan perundang yaitu Pasal 71 ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 2016 (UU Pilkada), yang melarang kepala daerah melakukan pergantian pejabat sebelum 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri.
Menyikapi hal tersebut, Aryos Nivada Peneliti di Jaringan Survei Inisiatif dalam siaran pers yang diterima Atjehpress. Com, Senin, 13 Maret 2017, mendesak kepada Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) agar segera melakukan pemanggilan terhadap Zaini Abdulah serta melakukan investigasi terkait kebijakan yang menuai keresahan tersebut.
“Karena fungsi DPRA salah satunya adalah pengawasan. Maka DPRA perlu segera memangil Zaini untuk dilakukan pemeriksaan. Dari situ DPRA dapat menilai apakah kebijakan tersebut cacat prosedur hukum atau tidak. Tidak tertutup kemungkinan pula dari hasil pemeriksaan DPRA, apabila terbukti cacat prosedur, Zaini dapat dimakzulkan selaku gubernur Aceh, ” tegasnya.
Menyangkut dasar pemberhentian kepala daerah. Aryos menyatakan bahwa hal tersebut sudah diatur dalam UUPA. Pasal 48 ayat 2 huruf f UUPA menyatakan bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota diberhentikan karena melanggar larangan bagi Gubernur dan Wakil Gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota. sedangkan tata cara pemberhentian kepala daerah yang melanggar aturan tercantum dalam ayat selanjutnya yaitu pada pasal 48 ayat 3 dan ayat 4.
“DPRA perlu melihat apakah kebijakan zaini melakukan mutasi dalam tahapan pilkada tanpa persetujuan mendagri tersebut adalah termasuk melanggar ketentuan yang bersifat larangan bagi kepala daerah sehingga dapat diberhentikan sebagaimana diatur dalam Pasal 48 ayat 2 huruf f UUPA,” saran Aryos.
Menurut Aryos, mutasi dinilai sarat dengan berbagai pelanggaran. Antara lain tidak ada persetujuan dari Mendagri, tidak ada melalui proses Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat).
“Sehingga publik menilai mutasi yang sarat pelanggaran tersebut adalah demi mengakomodir kepentingan Gubernur Zaini dan kroni. Padahal dalam Pasal 47 UUPA huruf (a) jelas disebutkan, bahwa kepala daerah dilarang membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri, anggota keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politik yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, merugikan kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok masyarakat, atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat lain,” pungkas alumni Megister Politik dan Pemerintahan UGM tersebut.
Agar masalah ini tidak semakin berlarut dan membuat runyam Aceh di kemudian hari. Aryos menyarankan kepada Kemendagri agar mengeluarkan Surat Edaran yang intinya memperjelas mana kabinet yang ilegal dan mana legal.
“Dengan demikian rakyat Aceh memiliki pegangan apabila terjadi sesuatu di kemudian hari. Kemudian apabila Mendagri menilai kabinet yang dilantik saat ini oleh Zaini adalah cacat hukum, maka mendagri harus memfasilitasi pengalihan dari pejabat ilegal ke pejabat lama yang legal,” ujarnya.
Tegas Aryos, kebijakan Zaini tersebut, dikhawatirkan akan berdampak meluas. Hal ini disebabkan, karena mereka (kabupaten/kota) dan provinsi di nasional lainnya akan mencontoh apa yang dilakukan Zaini Abdullah selaku Gubernur Aceh.
“Jangan sampai ini menjadi masalah meluas yang berdampak di kabupaten/kota hingga menjadi masalah nasional.,” ujar Aryos lebih lanjut.
Mengakhiri siaran persnya, Aryos mengingatkan, bahwa Gubernur Aceh sejatinya adalah wakil dari Pemerintah Pusat di daerah. Dengan demikian bertanggung jawab kepada Presiden. Dalam hal ini adalah Menteri Dalam Negeri. Sebut pengamat ini, Pasal 40 UUPA ayat (1) Gubernur karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil Pemerintah. Kemudian ayat (2) Dalam kedudukan sebagai wakil Pemerintah, Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden.
“Jadi tidak bisa Gubernur melakukan pembangkangan terhadap aturan dan larangan yang telah ditetapkan Mendagri,” demikian tutup Aryos. (r)